FENOMENA
SENI RUPA ANAK-ANAK
tugas 10
“SETIAP anak-anak adalah seorang
seniman. Masalahnya adalah bagaimana membuatnya tetap sebagai seniman ketika
dia tumbuh besar.”
Pernyataan
yang dikatakan oleh Pablo Picasso mungkin benar,karna seorang anak dalam
meluapkan ekspresinya pada suatu media,ia tidak memikirkan untuk apa karyanya nanti,atau
kepentingan lain yang bersifat matrealistis,anak-anak berekspresi hanya untuk
kepuasan pribadi saja,dan perilaku yang seperti itu sama dengan definisi
seorang seniman yang berkarya hanya untuk mengekspresikan imajinasinya pada
suatu media untuk kepuasan pribadi.
FENOMENA
GUNUNG KEMBAR
Anak
merupakan masa dimana imajinasi dibebaskan pada anak. Meraka akan mulai
melakukan sesuatu dengan menggunakan tangannya. Pada permulaan kelahiran,
indera pendengaran merupakan indera yang berfungsi paling awal. Setelah itu,
secara berturut-turut indera penglihatan, peraba, pengecap, dan pembau.
Kematangan merupakan salah satu yang menjadi pendorong kemampuan seorang
manusia. Ketika tangan sudah berfungsi untuk memegang sesuatu, anak balita
mulai memfungsikan alat tubuh tersebut. Biasanya dimulai dengan memasukkan
semua benda yang bisa diarihnya ke dalam mulut. Selanjutnya mengetuk-ketukkan
semua benda yang bisa dipegang untuk didengar suaranya. Sebagai latihan
terakhir adalah latihan koordinasi antara penglihatan dengan gerak otot lengan
dan tangannya, melalui kegiatan mencorat-coret (Jajang, 1992: 2).
Dalam
kegiatan seni terutamanya menggambar akan bebas berekperimen dengan gambar
mereka ada bebrapa tahap perkembangan gambar anak menurut bebrapa ahli
diantaranya seperti bagan berikut.
GAMBARAN PERKEMBANGAN KEGIATAN
MENGGAMBAR
PADA ANAK-ANAK
Sir
Cyril Burt
|
Viktor
Lowenfeld And
W.
Lambert Brittain
|
Amir
Hamzah Nasution
Dan
Oejeng Soewargana
|
Masa Corengan
(usia 2 - 5 tahun)
|
Masa Corengan
(usia 2 - 4 tahun)
|
Periode Menggores
(sampai usia 3 tahun)
|
Masa Garis
(usia 4 tahun)
|
Masa Prabagan
(usia 4 - 7 tahun)
|
Periode Skema
(usia 3 - 7 tahun)
|
Masa Perlambangan Terurai
(usia 5 - 6 tahun)
|
||
Masa Realisme Terurai
(usia 7 - 8 tahun)
|
Masa Bagan
(usia 7 - 9 tahun)
|
Periode Bentuk dan Garis
(usia 7 - 9 tahun)
|
Masa Realisme Cerapan
(usia 9 - 10 tahun)
|
Masa Realisme
(usia 9 - 12 tahun)
|
Periode Silhuet
(usia 9 - 10 tahun)
|
Masa Represif (usia 11 - 14 tahun,
terutama usia 13 tahun)
|
Masa Naturalisme Semu
(usia 12 - 14 tahun)
|
Periode Perspektif
(usia 10 - 14 tahun)
|
Masa Kebangkitan Rasa Artistik
(usia 15 tahun)
|
Masa Kepastian
(usia 14 - 17 tahun)
|
Dari beberapa pendapatan ahli itu
tidak semua akan menjadi realita yang pasti di lapangan, hal ini karena setiap
anak memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Setiap individu anak memiliki
keunikan tersendiri yang dapat mematahkan prinsip dari teori perkembangan
gambar menurut beberapa ahli di atas. Anak-anak di Indonesia contohnya terdapat
fenomena gambar “GUNUNG KEMBAR”. Seperti gambar berikut.
Di
Indonesia sejak tahun 40-an, masyarakat sekolah telah mengenal gambar dengan format:
gunung, jalan, laut atau sawah, dan pepohonan. Format gambar penuh keseimbangan
komposisi atas-bawah tersebut sangat awet, sebagai sesuatu yang ‘klasik”,
yang secara sinambung diturun-tirukan antargenerasi hingga masa kini. Terdapat gambar sepasang gunung-kembar, kadang-kadang diisi
tiruan bentuk matahari yang “memancarkan cahayanya” menyembul di sela-sela
gunung. Pada bagian langitnya, biasa, diisi gambar tiruan burung yang sedang
terbang (Nyoman Tusan memprihatinkannya sebagai contoh pemiskinan bentuk
yang diajarkan kepada anak-anak). Objek gambar tersebut memenuhi setengah
bagian atas bidang gambar. Pada setengah bagian bidang gambar bawah digambarkan
seruas jalan panjang yang lurus atau pun berkelok-kelok menuju satu titik
hilang (biasanya pola gambar ini dipakai pula oleh guru ketika mengajarkan
materi gambar perspektif di sisi kiri
dan kanan jalan biasanya diisi jejeran pohon atau tiang listrik yang
menampakkan kesan jarak, dimensi, jauh-dekat. Penyeimbang ruang kiri dan kanan
bidang gambar bawah yang telah dibatasi gambar jalan, biasanya diisi tiruan
bentuk sawah datar penuh padi yang baru ditanam (bentuknya berupa garis simpel,
yang “mudah menggambarkannya”, terdiri atas tiga garis yang bertemu pada satu
titik seperti bentuk mata panah yang mengarah ke bawah), atau tegalan luas
sejauh mata memandang yang kadang diseling rumah dan pohon kelapa, bisa juga
gambar laut atau danau dengan satu atau dua buah sampan dan pemancing ikan di
atasnya.
Fenomena
ini sangat layak dan menarik untuk dibicarakan, fenomena gunung kembar
ini akan muncul baik ditingkat SD, SMP, dan SMA. Fenomenan ini
munculnyapun kurang diketahui dari asalnya datangnya fenomena ini sehingga
fenomenan ini telah menjamur di jenjang pendidikan khususnya pendidikan
seni rupa khususnya menggambar.
Sesuatu yang dapat dikatakan jelas
memicu munculnya fenomena ini adalah ketika mereka lepas dari lingkungan
keluarga yaitu ketika mereka mulai memasuki dunia atau jenjang pendidikan. Hal
ini dikarenanakan saat mereka masih di lingkungan keluarga, mereka memiliki
imajinasi yang besar tentang berbagai hal, namun ketika memasuki masa
pendidikan imajinasi mereka tiba-tiba hilang lenyap tak terlihat sama sekali,
kemanakan imajinasi mereka??. Fenomena Gunung Kembar ini akan berlanjut
sampai mereka menginjak SMA namun dengan tingkat yang berbeda penggambaran yang
berbeda. Anehnya lagi gambar ini muncul juga pada mereka yang tidak tinggal di
daerah pegunungan contonya saja daerah pantai. Dilingkungan mereka tidak
terdapat gunung ataupun pegunang namun kenapa gambar ini bias muncul pada
mereaka, siapa yang membawa fenomena ini??.Mungkinkah fenomena ini muncul dari
kegiatan meniru.
MELUKIS
SEBAGAI MEDIA TERAPI
Melukis sebagai Media Terapi
Selama ribuan tahun yang lalu,
manusia telah menggunakan elemen seni dalam berbagai bentuk sebagai upaya untuk
mencapai kesembuhan jiwa dan raga. Bangsa Yunani kuno, menggunakan keberadaan
teater seni yang mementaskan drama satir sebagai sesuatu yang membawa efek
katarsis, yaitu membersihkan atau menyembuhkan jiwa. Elemen inilah, yang pada
prosesnya berperan penting dalam terapi seni. Terapi seni secara harafiah dapat
diartikan sebagai penggabungan dua buah disiplin ilmu, yaitu antara ilmu seni
dan psikologi. Psikologi Seni menelaah suatu kegiatan psiko-fisis tertentu dari
manusia dan pelaksanaan kegiatan itu pada penciptaan karya seni. Misalnya
menelaah segenap proses kegiatan mencipta yang dilakukan oleh seniman untuk
menghasilkan sesuatu karya seni yang indah serta bentuk dan ciri-ciri karya yang
demikian. Juga ditelaah faktor-faktor sosial psikologis yang menyangkut proses
penilaian seni dan dorongan batin dalam seni. Seni dapat memberikan berbagai
penafsiran yang nyata terhadap macam-macam gejala kejiwaan dalam diri manusia
seperti misalnya gairah, harapannya, khayalannya, atau kekurangan pribadinya.
Psikologi seni mengacu pada seni pada seumumnya. Dalam lingkungannya kemudian
berkembang psikologi dari jenis-jenis seni tertentu seperti misalnya psikologi
kesusasteraan, psikologi musik, dan psikologi seni penglihatan yang meliputi
seni lukis dan seni pahat.
Yohanita T.P.L, S.Psi pelaku konseling bagi anak berkebutuhan khusus saat dihubungi mengatakan, psikologi seni selain dapat dirinci menurut jenis-jenis seni dapat pula dibedakan menurut teori-teori psikologis yang digunakan untuk menerangkan sesuatu persoalan yang muncul. “Misalnya dengan menerapkan teori sikap dan psikologi instropeksi, Edward Bullough melakukan penyelidikan terhadap kesadaran estetis. Psikoanalisis dengan berbagai teorinya berusaha memberikan penjelasan bahwa karya seni sebagaimana halnya dengan impian dan mitologi merupakan perwujudan dari keinginan manusia terdalam yang memperoleh kepuasan lebih besar dalam bentuk seni ketimbang dalam penghidupan sehari-hari,” jelasnya.
Dalam perkembangan psikologi seni selanjutnya, penggunaan hasil-hasil ilmiah dari psikologi kanak-kanak dianggap dapat memberikan keterangan-keterangan yang memadai mengenai pertumbuhan dorongan batin dalam mencipta seni.
Sebuah teori tentang sumber seni ialah teori permainan yang dikemukakan oleh Penyair Johan Schiller (1759-1805) dan kemudian diperkuat oleh filsuf Inggris Herbert Spencer (1820-1903). Menurut Schiller, asal mula seni adalah dorongan batin untuk bermain-main yang ada dalam diri seseorang. Seni merupakan semacam permainan menyeimbangkan segenap kemampuan mental manusia berhubungan dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan ke luar.
Bagi Spencer permainan itu berperanan untuk mencegah kemampuan-kemampuan mental manusia menganggur dan selanjutnya menciut karena disia-siakan. Seseorang yang semakin meningkat taraf kehidupannya tidak memakai habis energinya untuk keperluan sehari-hari. Kelebihan tenaga ini lalu menciptakan kebutuhan dan kesempatan untuk melakukan rangkaian permainan yang imaginatif dan kegiatan hiburan yang akhirnya menghasilkan karya seni. “Ada lukisan yang menggambarkan kesedihan, keputus-asaan, kesepian, kemarahan, semangat hidup, ambisi hingga bagaimana manusia meraih impian-impian hidupnya. Semua terbingkai dengan sempurna dalam sebuah lukisan. Lebih tepatnya membingkai jiwa-jiwa manusia dalam sebuah lukisan,” ujar Yohanita yang juga sering menghasilkan karya rupa.
Tak heran seringkali psikolog dan psikiater merekomendasikan klien yang mengalami kasus stres, depresi, paranoid, skizofrenia dan gangguan kejiwaan yang lain ke terapi lukis. Melukis sebagai media terapi. Sebenarnya tidak hanya lukis saja yang bisa sebagai media terapi. Ada banyak seni yang bisa mereka pergunakan sebagai media, seperti : seni patung, seni batik, seni musik (piano, biola, gitar), seni menulis, dll. “Didalam terapi melukis mereka akan belajar menarik garis, bentuk, warna, komposisi ruang, dll. Terapi melukis akan mampu menggali tingkat intelegensi, tingkat emosional, tingkat konsentrasi, dan kemampuan berpikir mereka. Sehingga mereka akan diajak menyadari masalah-masalah mereka sambil bereksplorasi dan berkreativitas dalam permainan kuas dan cat. Harapannya, mereka nanti akan menemukan semangat baru, inspirasi baru, impian-impian baru, akan menemukan solusi yang tepat pada masalah dirinya dan mampu memulai lembaran baru yang lebih baik. Dan mereka pun bisa terbebas dari gangguan kejiwaannya,” tutur Yohanita yang sering menangani anak-anak autis.
Yohanita T.P.L, S.Psi pelaku konseling bagi anak berkebutuhan khusus saat dihubungi mengatakan, psikologi seni selain dapat dirinci menurut jenis-jenis seni dapat pula dibedakan menurut teori-teori psikologis yang digunakan untuk menerangkan sesuatu persoalan yang muncul. “Misalnya dengan menerapkan teori sikap dan psikologi instropeksi, Edward Bullough melakukan penyelidikan terhadap kesadaran estetis. Psikoanalisis dengan berbagai teorinya berusaha memberikan penjelasan bahwa karya seni sebagaimana halnya dengan impian dan mitologi merupakan perwujudan dari keinginan manusia terdalam yang memperoleh kepuasan lebih besar dalam bentuk seni ketimbang dalam penghidupan sehari-hari,” jelasnya.
Dalam perkembangan psikologi seni selanjutnya, penggunaan hasil-hasil ilmiah dari psikologi kanak-kanak dianggap dapat memberikan keterangan-keterangan yang memadai mengenai pertumbuhan dorongan batin dalam mencipta seni.
Sebuah teori tentang sumber seni ialah teori permainan yang dikemukakan oleh Penyair Johan Schiller (1759-1805) dan kemudian diperkuat oleh filsuf Inggris Herbert Spencer (1820-1903). Menurut Schiller, asal mula seni adalah dorongan batin untuk bermain-main yang ada dalam diri seseorang. Seni merupakan semacam permainan menyeimbangkan segenap kemampuan mental manusia berhubungan dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan ke luar.
Bagi Spencer permainan itu berperanan untuk mencegah kemampuan-kemampuan mental manusia menganggur dan selanjutnya menciut karena disia-siakan. Seseorang yang semakin meningkat taraf kehidupannya tidak memakai habis energinya untuk keperluan sehari-hari. Kelebihan tenaga ini lalu menciptakan kebutuhan dan kesempatan untuk melakukan rangkaian permainan yang imaginatif dan kegiatan hiburan yang akhirnya menghasilkan karya seni. “Ada lukisan yang menggambarkan kesedihan, keputus-asaan, kesepian, kemarahan, semangat hidup, ambisi hingga bagaimana manusia meraih impian-impian hidupnya. Semua terbingkai dengan sempurna dalam sebuah lukisan. Lebih tepatnya membingkai jiwa-jiwa manusia dalam sebuah lukisan,” ujar Yohanita yang juga sering menghasilkan karya rupa.
Tak heran seringkali psikolog dan psikiater merekomendasikan klien yang mengalami kasus stres, depresi, paranoid, skizofrenia dan gangguan kejiwaan yang lain ke terapi lukis. Melukis sebagai media terapi. Sebenarnya tidak hanya lukis saja yang bisa sebagai media terapi. Ada banyak seni yang bisa mereka pergunakan sebagai media, seperti : seni patung, seni batik, seni musik (piano, biola, gitar), seni menulis, dll. “Didalam terapi melukis mereka akan belajar menarik garis, bentuk, warna, komposisi ruang, dll. Terapi melukis akan mampu menggali tingkat intelegensi, tingkat emosional, tingkat konsentrasi, dan kemampuan berpikir mereka. Sehingga mereka akan diajak menyadari masalah-masalah mereka sambil bereksplorasi dan berkreativitas dalam permainan kuas dan cat. Harapannya, mereka nanti akan menemukan semangat baru, inspirasi baru, impian-impian baru, akan menemukan solusi yang tepat pada masalah dirinya dan mampu memulai lembaran baru yang lebih baik. Dan mereka pun bisa terbebas dari gangguan kejiwaannya,” tutur Yohanita yang sering menangani anak-anak autis.
Materi dikutip dari;
http://ymilocoffe.blogspot.com/2013/01/melukis-sebagai-media-terapi.html
http://putotheta.blogspot.com/2014/03/fenomena-gunung-kembar.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar