Jumat, 16 Desember 2016

PROFESI PENDIDIKAN, TUGAS 7



Permasalahan Pendidikan Serta Rekomendasi untuk Pemerintahan Baru

Salah satu cita-cita kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti yang termaktub dalam Pembukaan (Preambule) Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan konstitusi Negara Indonesia adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan merupakan komponen utama dalam pembangunan Negara kita ke depannya. Pendidikan merupakan ujung tombak dalam proses pembangunan negara dan arah Negara ini ke depannya tergantung pada arah pendidikan kita dan wajah-wajah anak didik kita saat ini. Dalam batang tubuh Undang –Undang Dasar 1945 tersebut, yaitu di Pasal 31 ayat 1 disebutkan bahwa “Pendidikan merupakan hak warga Negara”. Sehingga tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan bagi setiap warga Negara di Indonesia merupakan milik Negara. Negara harus menjamin pemenuhan hak yang dalam hal ini adalah hak atas pendidikan tersebut. Negara harus menyelenggarakan serta menjamin pendidikan dalam setiap tingkatan baik pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi.
Pada hakekatnya proses pendidikan merupakan proses pemberdayaan seseorang untuk membentuk kepribadian dan menciptakan integritas dirinya sendiri. Oleh karena itu pendidikan kita memerlukan orientasi dan arah yang jelas sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara. Itu sebabnya dalam implementasinya pendidikan seharusnya tidak sekedar mendidik seseorang dari

sisi intelektualnya, akan tetapi juga kepribadian, etika, dan estetika dari dalam potensi diri si Pembelajar. Namun arah pendidikan kita saat ini terlihat sangat jauh dari cita-cita para pendahulu. Pendidikan dewasa ini seperti menjadi komoditas dan dagangan saja. Tengoklah biaya pendidikan saat ini mahal dan hal itu merata di semua tingkatan pendidikan. Sekolah dan Perguruan Tinggi berlomba-lomba mempromosikan dirinya sebagai “mesin pencetak pekerja” yang paling unggul. Dengan adanya kebijakan Badan Hukum Pendidikan, biaya pendidikan yang seharusnya ditanggung Negara diserahkan kepada masing-masing institusi pendidikan melalui biaya pendidikan yang sangat tinggi.
B. Permasalahan Pendidikan
1. Filosofi Pendidikan

Seperti yang disebutkan di atas bahwa pada hakekatnya proses pendidikan merupakan proses pemberdayaan seseorang untuk membentuk kepribadian dan menciptakan integritas dirinya sendiri. Melalui aktivitas pendidikan itulah seseorang diharapkan dapat memperoleh kemampuan yang dibutuhkan dirinya sendiri maupun oleh masyarakat, dan negara sehingga mampu memberikan kontribusi nyata sesuai dengan kapasitas kompetensinya. Kompetensi individual sebagai hasil belajar, diharapkan mampu menjadi modal dasar berkontribusi di masyarakat untuk melakukan perubahan yang tentu saja ke arah yang lebih baik). Oleh karena itu pendidikan kita memerlukan orientasi dan arah yang jelas sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara. Itu sebabnya dalam implementasinya pendidikan seharusnya tidak sekedar mendidik seseorang dari sisi intelektualnya, akan tetapi juga kepribadian, etika, dan estetika dari dalam potensi diri si Pembelajar.
Dengan bekal keseimbangan pribadi seperti itulah, peserta didik kita, diharapkan mampu menjadi agen perubahan (agent of change) untuk menciptakan arah pembangunan bangsa yang sesuai dengan prinsip-prinsip luhur bangsa Indonesia seperti yang disampaikan oleh para Founding Fathers.
Namun sayangnya arah pendidikan saat ini terlihat sangat jauh dari cita-cita para pendahulu. Pendidikan dewasa ini seperti menjadi komoditas dan dagangan saja. Institusi pendidikan (sekolah) yang berorientasi pada selera pasar tak ubahnya seperti menjadi pabrik pencetak mesin mesin manusia siap kerja namun miskin inovasi. Pendidikan kita yang hanya berorientasi pada hasil (yang dijawantahkan dengan nilai tertulis) tanpa memperhatikan
prosesnya menjadikan hasil anak didik menjadi insan-insan yang hanya berorientasi pada hasil dan uang saja. Begitu pula akibat mahalnya biaya pendidikan yang ada menjadikan para orang tua mengharapkan bahwa biaya (investasi) yang mereka keluarkan untuk menyekolahkan anaknya haruslah kembali berlipat-lipat ganda, sehingga memaksa anak hanya berorientasi untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang besar tanpa lagi memikirkan hakikat pendidikan itu sendiri. Pun demikian dengan institusi pendidikannya sendiri, sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi berlomba lomba menjadi yang terdepan mempromosikan dirinya sebagai “mesin pencetak pekerja” yang paling unggul. Dengan adanya kebijakan Badan Hukum Pendidikan. Biaya pendidikan yang seharusnya ditanggung Negara diserahkan kepada masing-masing institusi pendidikan melalui biaya pendidikan yang selangit itu.Tentu saja permasalahan ini harus dicari solusinya bersama.
Sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan dan mencerdaskan karena para murid dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa dan guru dianggap tahu segalanya. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru. Tentu saja sistem pendidikan yang seperti ini sangatlah menyiksa dan hanya menindas para murid karena para murid hanya dipaksa menjadi objek pembelajaran tanpa memiliki kesempatan untuk berinovasi dan mengembangkan bakat serta kemampuannya sendiri.
Dengan mengacu kepada model pendidikan yang seperti itu, maka manusia yang dihasilkan oleh model pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap keadaan. Sehingga manusia-manusia yang dihasilkan adalah mereka yang apatis dan kekurangan empati terhadap keadaan sekitarnya.
2. Pendidikan Dasar dan Menengah

Dapat kita lihat bersama, bahwa pendidikan nasional kita terutama pendidikan dasar dan menengah kita selama sepuluh tahun terakhir terpuruk

dirilis Pearson memposisikan Indonesia sebagai sebuah negara dengan sistem pendidikan terburuk, yaitu berada pada urutan terakhir dari 40 negara. Tahun lalu, Indonesia berada pada urutan 39 dari 40 negara. Keterpurukan ini terjadi karena berbagai macam kebijakan pendidikan yang abai terhadap nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip pedagogi-pembelajaran. Untuk itu, ada 3 hal fundamental yang bisa dilakukan oleh Pemerintahan yang baru untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Ketiga hal tersebut yaitu: permasalahan Kurikulum 2013, Ujian Nasional dan Keragaman di Sekolah Negeri. Apabila permasalahan dalam ketiga hal tersebut dapat diselesaikan maka harapan untuk Pendidikan Nasional yang lebih baik dapat kita capai.
Lalu diluar hal tersebut kita haruslah melihat di mana posisi pendidikan nasional kita saat ini. Berdasarkan assesment internasional, yaitu test PISA (membaca) dan TIMMS (Bernalar) posisi siswa Indonesia selalu jeblok (2003, 2006, 2009 dan 2012), sehingga kualitas siswa di Indonesia dapat dikatakan terbelakang apabila berkaca pada hasil assessment tersebut. Tidak berbeda jauh dengan kualitas siswanya, kualitas guru di Indonesia juga tergolong rendah. Berdasarkan penelitian World Bank (2012) kualitas guru Indonesia terendah (urutan 12 dari 12 negara Asia), bahkan hasil UKG hanya 4,3. Kualitas guru di Indonesia sangat memprihatinkan, banyak yang tidak pernah mengikuti pelatihan sehingga kualitasnya tidak ada peningkatan. Guru di Indonesia juga banyak yang pemalas dan mencari jalan pintas dalam mendidik murid-muridnya.
Prestasi buruk siswa dan guru di Indonesia tersebut seolah-olah didukung dengan hasil penelitian tentang sistem pendidikan di Indonesia yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan Indonesia terburuk bersama Brazil dan Meksiko berdasarkan Assesment Pearson (2012), bahkan di tahun 2014 Indonesia malah dibawah Brazil dan Meksiko.
Parahnya, Pemerintah kita seperti tidak bisa memformulasikan obat yang tepat untuk menanggulangi segala jenis keburukan dalam Pendidikan Nasional kita tersebut. Pemerintah kita malah meresmikan kurikulum 2013 yang mereka sebut sebagai “obat” untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan yang terjadi. Namun seperti yang kita ketahui kesalahan dalam pemilihan obat, malah bisa mengakibatkan kehancuran bagi bangsa Indonesia.
Kurikulum 2013 seperti yang kita lihat tidak pernah dapat mengklasifikasikan siapa itu guru, siapa itu murid dan hal yang lainnya. Dalam faktor mata pelajaran, ilmu pengetahuan yang disebut berkembang pesat, secara materi dianggap materi pelajaranlah yang penting

padahal bukan hanya belajar materi yang penting namun belajar hal lain seperti pembentukan karakter juga penting untuk menjaga kualitas anak didik kita. Namun sebagaimana yang kita lihat, pemerintah hanya memaksa anak didik kita untuk belajar dengan buku dan materi tanpa melihat hal lain seperti pembentukan karakter tersebut. Parahnya mata pelajaran di seluruh Indonesia disamaratakan, anak didik di Jakarta mendapatkan pelajaran yang sama dengan di Papua. Padahal kita tahu bahwa, sarana dan prasarana tiap-tiap daerah berbeda serta konsep pendidikan tiap daerah berbeda, sehingga pemaksaan tersebut merupakan kesalahan yang sekali lagi dilakukan oleh pemerintah kita tanpa perhitungan.
Lebih jauh, Kurikulum 2013 sangat kacau dalam implementasinya. Sudah hampir setahun dari dilaksanakannya kurikulum ini namun distribusi buku pelajarannya masih belum terkirim dengan merata. Ditambah banyaknya pelajaran yang harus diambil oleh siswa tentu sangat membebani siswa, bukannya membebaskan mereka.
Selain masalah-masalah tersebut, masalah lain yang tidak kalah pentingnya yaitu permasalahan Ujian Nasional (UN). Ujian Nasional yang dijadikan tolak ukur penentu kelulusan malah mengakibatkan runtuhnya moral para siswa karena kecurangan UN semakin lama semakin sistemik dan massif, UN jugalah hanya menjadi ajang penghamburan uang negara karena hasilnya tak mengukur apapun dari kualitas pendidikan Indonesia, karena kecurangan yang terjadi tentu saja mengakibatkan lebih dari 90 % siswa pasti lulus, tapi sekali lagi hal tersebut membuktikan bahwa UN sama sekali tidak dapat mengukur apapun.
Pemerintah kita selalu melihat tolak ukur pendidikan dari hasil, bukan dari proses. Kemenangan di lomba-lomba (olimpiade, dll) dianggap menjadi tolak ukur pendidikan. Sehingga kita dapat melihat bahwa menang pendidikan kita semakin dijauhkan dari tujuannya, sejatinya pendidikan mempertajam pikiran dan menghaluskan perasaan, bukan membebani siswa dan menjadi momok bersama.
Perlu ditekankan juga bahwa LBH Jakarta bersama jaringan advokasi yang melakukan penolakan terhadap UN (TEKUN) telah melakukan Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit) untuk menghapuskan UN dan dikabulkan hingga Mahkamah Agung. Namun pemerintah masih membangkang dan tetap mengadakan UN. 

3. Pendidikan Tinggi

Khusus untuk permasalahan pendidikan tinggi, selain daripada ketentuan dalam Konstitusi, ketentuan internasional juga menjamin pemenuhan akan hak atas pendidikan
tersebut, hal tersebut termaktub dalam Kovenan Ekonomi Sosial dan Budaya (Ekosob) yang diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 Pasal 13 ayat 2C yang menyatakan bahwa “Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap”. Sehingga cukup jelas bahwa Negara dalam hal ini diwakilkan oleh Pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi tersebut.
Namun sepertinya cita-cita itu masih sangat jauh dari harapan. Perguruan Tinggi saat ini tak ubahnya seperti perusahaan karena dikelola secara privat, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Seperti yang ada pada beberapa Peraturan Pemerintah yang muncul di tahun tahun 2000 yang mengesahkan Penerapan Skema Badan Hukum di Pendidikan Tinggi Indonesia (poin konsideran KUHPer), hal ini menjadi awal privatisasi kampus, baik di Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta. Sehingga menyebabkan biaya pendidikan di perguruan tinggi menjadi sangat besar.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh aktivis dan para pemerhati pendidikan sebenarnya membuahkan hasil. Undang - Undang Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan sudah dinyatakan batal oleh Mahkamah Konstitusi. Kutipan Putusan Pembatalan UU BHP oleh MK tahun 2010:
“ … dalam keadaan tidak adanya kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP maka sasaran yang paling rentan adalah peserta didik yaitu dengan cara menciptakan pungutan dengan nama lain di luar biaya sekolah atau kuliah yang akhirnya secara langsung atau tidak langsung membebani peserta didik.”
“Kewenangan institusi pendidikan untuk mencari dana secara otonom berpotensi melanggar hak atas pendidikan bagi peserta didik.”
“Otonomi pengelolaan pendidikan tinggi bukan merupakan sebuah keharusan dalam mencapai tujuan Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bahkan dapat mengagalkannya.”
Sehingga sebenarnya, Mahkamah Konstitusi sudah secara jelas menyebutkan bahwa UU BHP itu sendiri telah melanggar hak atas pendidikan bagi para peserta didik yaitu mahasiswa. Namun, upaya tersebut mengalami ganjalan karena pemerintah memang tidak berniat untuk menghapuskan privatisasi pada kampus perguruan tinggi. IMHERE dari Bank Dunia di tahun 2010 bahkan menyebutkan perlu ada landasan hukum baru untuk praktik Badan Hukum, khususnya badan hukum pendidikan. Sehingga pemerintah kita yang latah malah mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang masih berlaku sampai sekarang yang menjadi penguatan legitimasi hukum atas praktik privatisasi
kampus ala Badan Hukum seperti pada UU BHP. Sehingga berlakunya UU Dikti sebenarnya tidak membawa perubahan yang signifikan bahkan UU Dikti memberikan legitimasi yang lebih kuat untuk praktik dan trend yang sudah berjalan sejak tahun 2000.
Berkaca dari hal yang disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa perjuangan mewujudkan kuliah murah menerima pukulan; mundur ke belakang dan biaya kuliah semakin mahal serta akses terhadap Pendidikan Tinggi menjadi semakin eksklusif. Banyak universitas menganggap tantangan yang dihadapi adalah dari luar bukan dari dalam. Perubahan itu memaksa universitas untuk mereposisi dirinya dari semula sebagai knowledge creation menjadi knowledge production. Perguruan tinggi tidak lagi mengikuti Tri Dharma Perguruan Tinggi dan makin terpisah dari Negara. Universitas yang tadinya ada dalam level national state, yang seharusnya mengabdi pada kepentingan nasional sekarang berubah menjadi mengabdi pada kepentingan global juga.
Otonomi pendidikan tinggi hari ini adalah otonomi kelembagaan yang hanya dipahami secara instrumentasis dan teknis. Sehingga otonomi hanya dimaknai sebagai teknik-teknik manajerial dan perspektif kewirausahaan menjadi lebih mengemuka. Struktur pembentukan keputusanpun tidak lagi terdesentralisir melainkan hanya berada di tangan pejabat professional (rektor). Elit yang berkuasa dapat mengendalikan perguruan tinggi dengan sewenang-wenang dan melanggar kebebasan akademis.
Permasalahan di dunia Perguruan Tinggi tidak hanya berakhir pada masalah biaya pendidikan yang semakin mahal dan privatisasi kampus namun juga dalam hal pembatasan demokratisasi mahasiswa di dalamnya. Seperti yang dapat kita lihat sekarang Pemerintah dan perguruan tinggi, terus berusaha memberangus nilai-nilai demokratisasi mahasiswa di kampus. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa NKRI berdiri adalah hasil perjuangan yang terpimpin dalam sebuah organisasi rakyat melawan kolonial asing. Demikian pula dalam sejarah panjang perjuangan saat ini, organisasi menjadi sebuah keharusan yang wajib hukumnya diberi kebebasan untuk berekspresi, berpendapat dan berserikat. Namun, saat ini kebebasan berorganisasi di kampus menjadi sebuah formalitas semata saja di Republik ini. Sebagai contoh berikut beberapa kasus pembatasan demokratisasi di kampus:
1. Drop out (DO) yang dialami oleh 6 mahasiswa Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) karena berdemonstrasi dan mengkritisi kebijakan kampus. Saat ini kasus mahasiswa Untag tersebut masih dalam proses gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 
2. Drop out (DO) mahasiswa Universitas Pancasila (UP) pada tahun 2013 setelah menjalankan kegiatan latihan kepemimpinan bersama organisasinya di dalam kampus.
3. Drop out (DO) terhadap mahasiswa Universitas Nasional yang mengkritisi kebijakan jam malam kampus. Pimpinan mahasiswa yang diberhentikan dikaitkan dengan maraknya penggunaan narkoba di Universitas Nasional, padahal tidak bisa dibuktikan bahwa mereka positif menggunakan narkoba.

Apabila kita merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi di Pasal 77 yang mengatur tentang Organisasi Mahasiswa berbunyi;
1. Mahasiswa dapat membentuk organisasi kemahasiswaan
2. Organisasi mahasiswa paling tidak memiliki fungsi untuk mewadahi, mengembangkan, memenuhi, dan mengembangkan tanggung jawab sosial.
3. Organisasi mahasiswa sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 merupakan organisasi intra kampus

Pada pasal 77 ini dapat kita nilai bahwa budaya kampus yang mengekang kebebasan berorganisasi pada masa otoriter Soeharto masih tetap berlaku di kampus sampai saat ini. NKK/BKK berkembang dan tetap tumbuh subur dalam UU Pendidikan Tinggi. Perampasan hak demokratis mahasiswa semakin nyata, dimana semakin hilangnya kebebasan berorganisasi, mengeluarkan pendapat, menjalankan aktfitas dan kebudayaan lainnya di dalam kampus. Normalisasi kampus tetap dilanggengkan agar mahasiswa semata-mata fokus dengan kegiatan akademik, dies natalis, menwa, minat bakat dan lain-lain. Dan parahnya lagi pasal 77 ayat 3 tersebut, sesungguhnya adalah bentuk diskriminasi terhadap mahasiswa-mahasiswa untuk mendapatkan hak atas kebebasan untuk berorganisasi. Perguruan tinggi seakan-akan merawat iklim demokrasi di kampus melalui organisasi intra saja, tanpa memaknai bahwa mahasiswa-mahasiswa harus dijamin pula membentuk organisasi yang benar-benar lahir dari aspirasi mahasiswa itu sendiri. Diskriminasi ini pun masih dikuat dengan SK Dirjen Dikti No. 26 Tahun 2002 Tentang pelarangan organisasi ekstra di kampus. Lagi-lagi kebebasan berdemokrasi di kampus dipasung dengan regulasi dan menanamkan paradigma organisasi intra dan ekstra yang sesungguhnya tidak mencermikan kebebasan alam berdemokrasi di kampus
4. Anggaran Pendidikan

Dapat kita lihat bersama bahwa anggaran pendidikan merupakan salah satu permasalahan krusial dalam penyelenggaraan pendidikan kita. Memang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita mengalokasikan 20 % anggarannya untuk digunakan di sektor pendidikan namun ternyata penggunaan anggaran tersebut tidak murni hanya digunakan untuk operasional dana pendidikan.
Di dalam 20 % anggaran pendidikan tersebut juga sudah masuk anggaran belanja guru dan tenaga kependidikan untuk seluruh wilayah Indonesia juga anggaran pendidikan untuk sekolah kedinasan seperti Akademi Militer, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) juga ditanggung oleh anggaran 20 % APBN tersebut, bukannya ditanggung oleh institusi penyelenggara pendidikan kedinasan tersebut. Sehingga dana pendidikan untuk operasional institusi pendidikan umum menjadi semakin sedikit dan tidak bisa terserap dengan maksimal.
Belum lagi sudah menjadi rahasia umum bahwa anggaran pendidikan banyak dikorup terutama di tingkat pemerintah daerah, sehingga anggaran pendidikan yang benar-benar dapat dinikmati siswa menjadi sangat sedikit. Sehingga tidak heran, kualitas pendidikan kita begini-begini saja. Dengan sarana prasarana yang terbatas karena tidak pernah diperbaharui (akibat dikorup dan tidak maksimalnya dana pendidikan dikucurkan). Apabila permasalahan ini dibiarkan berlarut-larut. Dapat dipastikan kualitas pendidikan kita tidak akan bertambah baik ke depannya.
5. Tenaga Kependidikan

Solusi kunci yang dibutuhkan dalam memperbaiki pendidikan di Indonesia sebenarnya adalah membenahi guru dari hulu-nya (LPTK). Apabila guru berkualitas maka murid akan berkualitas, kalau guru dan siswanya berkualitas maka sekolah berkualitas, kalau sekolah berkualitas maka daerah berkualitas, dan kalau daerah berkualitas maka Indonesia akan lebih baik. Sehingga rumus kunci penyelesaian permasalahan pendidikan di Indonesia adalah pembenahan kualitas guru, seperti yang Ki Hadjar Dewantara pernah bilang “Tidak ada murid yang bodoh, yang ada hanyalah guru yang tidak bisa mengajar”. Sehingga pemerintah haruslah memikirkan formula tepat untuk mencetak guru-guru handal yang dapat membawa murid-muridnya menjadi handal juga. Bukan guru-guru dengan pengetahuan seadanya yang juga hanya akan membawa muridnya memiliki pengetahuan yang seadanya.
Guru seharusnya merupakan profesi yang diisi oleh orang-orang yang paling unggul dan pandai di bidangnya. Bukan oleh orang-orang sisa yang tidak mendapatkan tempat di bidang lain. Pola rekrutmen dan pendidikan bagi calon guru haruslah diperhatikan.
Di pendidikan dasar dan menengah masih banyak guru yang dipekerjakan dan dibutuhkan keahliannya namun masih berstatus honorer. Di perguruan tinggipun terdapat kecenderungan semakin meningkat jumlah tenaga kerja honorer dibanding yang tetap. Bagaimana mungkin menjadikan institusi pendidikan menjadi lebih baik lagi apabila kualitas diri serta kesejahteraan diri tenaga kependidikan tidak pernah diperhatikan. Pemerintah baru ke depannya harus dapat memformulasikan kebijakan yang tepat untuk menanggulangi permasalahan ini. Kondisi di perguruan tinggi diperburuk dengan banyak akademisi menjadi politikus karena perebutan jabatan-jabatan strategis di kampus.
C. Rekomendasi

Berkaca dari hal-hal yang sudah banyak disebutkan tersebut tentu saja kita dapat menarik kesimpulan dan rekomendasi kepada Pemerintahan Baru. Adapun rekomendasi yang dapat kita sampaikan yaitu:
1. Dalam Hal Pendidikan Dasar dan Menengah:
a. Hapus Ujian Nasional. Gunakan Ujian Nasional hanya digunakan untuk memetakan kualitas pendidikan di tiap daerah sebagai alat bantu pengembangan dan intervensi pendidikan berupa affirmative action bagi sekolah yang belum memenuhi standar nasional. Pemetaan pendidikan tidak harus dilakukan setahun sekali, dan tidak harus dilakukan di akhir tahun kelas. Kembalikan Kebijakan kelulusan pada sekolah dan guru sebagai pendidik sesuai dengan amanat UU Sisdiknas bukannya diserahkan kepada mekanisme Ujian Nasional yang sebagaimana kita ketahui sangatlah penuh kecurangan dan tidak sehat.
b. Ujian Akhir bersifat high-stakes untuk menilai kualitas pendidikan nasional dilakukan pada akhir jenjang sebelum siswa masuk ke Perguruan Tinggi. Ujian akhir ini hanya menguji hal-hal fundamental yang penting dikuasai setiap lulusan SMA sebagai modal pembangunan bangsa (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Sains). Ujian Akhir ini dilaksanakan oleh sebuah lembaga independen yang tidak berada di bawah kewenangan Kemendikbud secara otentik. Karena memang orang yang paling 
mengetahui kemampuan para siswa tentu saja guru-gurunya yang bersama mereka selama sekolah.
c. Hapus Kurikulum 2013. Pemerintah harus menerapkan kurikulum yang beragam sesuai dengan kebutuhan dan potensi setiap daerah. Pemerintah juga harus memperhatikan pengembangan kapasitas guru dan infrastruktur dalam penerapan kurikulum nasional. Guru harus menjadi perhatian yang utama dalam pembuatan kurikulum.

2. Dalam Hal Pendidikan Tinggi:
a. Pemerintah seharusnya melakukan penyegaran birokrasi di lingkungan Kemendikbud khususnya Dirjen Dikti. Birokrat-birokrat Dikti yang pro privatisasi kampus haruslah diganti supaya tujuan pendidikan tinggi tidak melenceng sebagaimana mestinya.
b. Lebih jauh Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi haruslah ditinjau ulang dan dicabut, serta skema badan hukum di bidang pendidikan haruslah dihapuskan dengan demikian Pendidikan Tinggi yang Ilmiah dan Demokratis dapat terwujud.
c. Untuk menjaga kualitas kampus serta melindungi hak-hak warga Negara agar bisa mengenyam kuliah, Perguruan Tinggi seharusnya mewujudkan sistem penerimaan tunggal nasional serta sistem pembiayaan tunggal kampus.
d. Kebebasan akademik, kebebasan mimbar kebebasan berpendapat, berorganisasi di dalam kampus serta kebebasan akademik dan otonomi keilmuan mahasiswa haruslah dijaga dan difasilitasi oleh kampus. Diskriminasi dalam kehidupan berorganisasi di kampus harus dihapuskan, sebab mendirikan organisasi adalah hak mahasiswa yang harus dihargai dan dijamin.
e. Adanya kesinambungan antara pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Permasalahan Pendidikan Tinggi kita karena kita hanya mendapatkan residua atau ampas dari pendidikan dasar dan menengah. Energi mahasiswa sudah dihabisi di tingkat sekolah. Sekolah menguras energy dan menjadikan mahasiswa menjadi acuh terhadap pengembangan dirinya.

3. Dalam Hal Anggaran Pendidikan
a. Politik Anggaran 20% APBN untuk Pendidikan haruslah dijalankan dengan ketat dan Realokasi anggaran belanja pegawai dikeluarkan dari kuota 20%.
b. Pemerintah harus memaksimalkan penerimaan pajak untuk alokasi pendidikan.
c. Menyediakan anggaran setidaknya 80 Triliun rupiah untuk pendidikan tinggi dalam menjalankan mandate Pasal 13 UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya untuk mewujudkan pendidikan tinggi yang mengarah ke cuma-cuma.

4. Dalam Hal Tenaga Kependidikan
a. Pemerintah bertanggungjawab mengembangkan profesionalisme guru melalui pelatihan dan pengembangan subjek ajar dan keterampilan pengajaran untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
b. Mengangkat guru dan tenaga kependidikan yang berstatus honorer untuk menjamin kualitas kerja dan kesejahteraan.
c. Menghapus sistem ketenagakerjaan layaknya swasta ataupun perusahaan, seperti sistem kontrak, outsourcing, dan sebagainya.

5. Dalam Hal Sistem Pendidikan Nasional

Ubah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional merupakan akar dari berbagai persoalan pendidikan di Indonesia. UU tersebut cukup banyak diuji di Mahkamah Konstitusi dan banyak pasal yang sudah dibatalkan. Menyelesaikan berbagai masalah pendidikan dapat dimulai dari mengubah sistem pendidikan nasional. Pemerintah harus mampu melakukan assessment yang partisipatif dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk mencari solusi bersama membangun system pendidikan nasional.

“Pendidikan dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir.”
(Ki Hajar Dewantara)


sumber:
 bantuanhukum.or.id

 
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar