Permasalahan
Pendidikan Serta Rekomendasi untuk Pemerintahan Baru
Salah satu
cita-cita kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti yang termaktub
dalam Pembukaan (Preambule) Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945 yang merupakan konstitusi Negara Indonesia adalah
“mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan merupakan
komponen utama dalam pembangunan Negara kita ke depannya. Pendidikan merupakan
ujung tombak dalam proses pembangunan negara dan arah Negara ini ke depannya
tergantung pada arah pendidikan kita dan wajah-wajah anak didik kita saat ini.
Dalam batang tubuh Undang –Undang Dasar 1945 tersebut, yaitu di Pasal 31 ayat 1
disebutkan bahwa “Pendidikan merupakan hak warga Negara”. Sehingga tanggung
jawab penyelenggaraan pendidikan bagi setiap warga Negara di Indonesia
merupakan milik Negara. Negara harus menjamin pemenuhan hak yang dalam hal ini
adalah hak atas pendidikan tersebut. Negara harus menyelenggarakan serta
menjamin pendidikan dalam setiap tingkatan baik pendidikan dasar, menengah
maupun pendidikan tinggi.
Pada
hakekatnya proses pendidikan merupakan proses pemberdayaan seseorang untuk
membentuk kepribadian dan menciptakan integritas dirinya sendiri. Oleh karena
itu pendidikan kita memerlukan orientasi dan arah yang jelas sesuai dengan
cita-cita dan tujuan negara. Itu sebabnya dalam implementasinya pendidikan
seharusnya tidak sekedar mendidik seseorang dari
sisi intelektualnya, akan tetapi juga kepribadian,
etika, dan estetika dari dalam potensi diri si Pembelajar. Namun arah
pendidikan kita saat ini terlihat sangat jauh dari cita-cita para pendahulu.
Pendidikan dewasa ini seperti menjadi komoditas dan dagangan saja. Tengoklah
biaya pendidikan saat ini mahal dan hal itu merata di semua tingkatan
pendidikan. Sekolah dan Perguruan Tinggi berlomba-lomba mempromosikan dirinya
sebagai “mesin pencetak pekerja” yang paling unggul. Dengan adanya kebijakan
Badan Hukum Pendidikan, biaya pendidikan yang seharusnya ditanggung Negara
diserahkan kepada masing-masing institusi pendidikan melalui biaya pendidikan
yang sangat tinggi.
B.
Permasalahan Pendidikan
1.
Filosofi Pendidikan
Seperti
yang disebutkan di atas bahwa pada hakekatnya proses pendidikan merupakan
proses pemberdayaan seseorang untuk membentuk kepribadian dan menciptakan
integritas dirinya sendiri. Melalui aktivitas pendidikan itulah seseorang
diharapkan dapat memperoleh kemampuan yang dibutuhkan dirinya sendiri maupun
oleh masyarakat, dan negara sehingga mampu memberikan kontribusi nyata sesuai
dengan kapasitas kompetensinya. Kompetensi individual sebagai hasil belajar,
diharapkan mampu menjadi modal dasar berkontribusi di masyarakat untuk
melakukan perubahan yang tentu saja ke arah yang lebih baik). Oleh karena itu
pendidikan kita memerlukan orientasi dan arah yang jelas sesuai dengan
cita-cita dan tujuan negara. Itu sebabnya dalam implementasinya pendidikan
seharusnya tidak sekedar mendidik seseorang dari sisi intelektualnya, akan
tetapi juga kepribadian, etika, dan estetika dari dalam potensi diri si
Pembelajar.
Dengan
bekal keseimbangan pribadi seperti itulah, peserta didik kita, diharapkan mampu
menjadi agen perubahan (agent of change) untuk menciptakan arah
pembangunan bangsa yang sesuai dengan prinsip-prinsip luhur bangsa Indonesia
seperti yang disampaikan oleh para Founding Fathers.
Namun sayangnya arah pendidikan saat ini
terlihat sangat jauh dari cita-cita para pendahulu. Pendidikan dewasa ini
seperti menjadi komoditas dan dagangan saja. Institusi pendidikan (sekolah)
yang berorientasi pada selera pasar tak ubahnya seperti menjadi pabrik pencetak
mesin mesin manusia siap kerja namun miskin inovasi. Pendidikan kita yang hanya
berorientasi pada hasil (yang dijawantahkan dengan nilai tertulis) tanpa
memperhatikan
prosesnya menjadikan hasil anak didik menjadi
insan-insan yang hanya berorientasi pada hasil dan uang saja. Begitu pula
akibat mahalnya biaya pendidikan yang ada menjadikan para orang tua
mengharapkan bahwa biaya (investasi) yang mereka keluarkan untuk menyekolahkan
anaknya haruslah kembali berlipat-lipat ganda, sehingga memaksa anak hanya
berorientasi untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang besar tanpa lagi
memikirkan hakikat pendidikan itu sendiri. Pun demikian dengan institusi
pendidikannya sendiri, sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi berlomba lomba
menjadi yang terdepan mempromosikan dirinya sebagai “mesin pencetak pekerja”
yang paling unggul. Dengan adanya kebijakan Badan Hukum Pendidikan. Biaya
pendidikan yang seharusnya ditanggung Negara diserahkan kepada masing-masing
institusi pendidikan melalui biaya pendidikan yang selangit itu.Tentu saja
permasalahan ini harus dicari solusinya bersama.
Sistem pendidikan
yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo
Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank.
Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan dan mencerdaskan karena para
murid dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa dan guru dianggap tahu
segalanya. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal
secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan
murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box,
dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila
sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid
hanya menampung apa saja yang disampaikan guru. Tentu saja sistem pendidikan
yang seperti ini sangatlah menyiksa dan hanya menindas para murid karena para
murid hanya dipaksa menjadi objek pembelajaran tanpa memiliki kesempatan untuk
berinovasi dan mengembangkan bakat serta kemampuannya sendiri.
Dengan
mengacu kepada model pendidikan yang seperti itu, maka manusia yang dihasilkan
oleh model pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan
bukannya bersikap kritis terhadap keadaan. Sehingga manusia-manusia yang
dihasilkan adalah mereka yang apatis dan kekurangan empati terhadap keadaan
sekitarnya.
2.
Pendidikan Dasar dan Menengah
dirilis Pearson memposisikan Indonesia sebagai
sebuah negara dengan sistem pendidikan terburuk, yaitu berada pada urutan
terakhir dari 40 negara. Tahun lalu, Indonesia berada pada urutan 39 dari 40
negara. Keterpurukan ini terjadi karena berbagai macam kebijakan pendidikan
yang abai terhadap nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip pedagogi-pembelajaran.
Untuk itu, ada 3 hal fundamental yang bisa dilakukan oleh Pemerintahan yang baru
untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Ketiga hal tersebut yaitu:
permasalahan Kurikulum 2013, Ujian Nasional dan Keragaman di Sekolah Negeri.
Apabila permasalahan dalam ketiga hal tersebut dapat diselesaikan maka harapan
untuk Pendidikan Nasional yang lebih baik dapat kita capai.
Lalu
diluar hal tersebut kita haruslah melihat di mana posisi pendidikan nasional
kita saat ini. Berdasarkan assesment internasional, yaitu test PISA (membaca)
dan TIMMS (Bernalar) posisi siswa Indonesia selalu jeblok (2003, 2006, 2009 dan
2012), sehingga kualitas siswa di Indonesia dapat dikatakan terbelakang apabila
berkaca pada hasil assessment tersebut. Tidak berbeda jauh dengan kualitas
siswanya, kualitas guru di Indonesia juga tergolong rendah. Berdasarkan penelitian
World Bank (2012) kualitas guru Indonesia terendah (urutan 12 dari 12 negara
Asia), bahkan hasil UKG hanya 4,3. Kualitas guru di Indonesia sangat
memprihatinkan, banyak yang tidak pernah mengikuti pelatihan sehingga
kualitasnya tidak ada peningkatan. Guru di Indonesia juga banyak yang pemalas
dan mencari jalan pintas dalam mendidik murid-muridnya.
Prestasi
buruk siswa dan guru di Indonesia tersebut seolah-olah didukung dengan hasil
penelitian tentang sistem pendidikan di Indonesia yang menyebutkan bahwa sistem
pendidikan Indonesia terburuk bersama Brazil dan Meksiko berdasarkan Assesment
Pearson (2012), bahkan di tahun 2014 Indonesia malah dibawah Brazil dan
Meksiko.
Parahnya,
Pemerintah kita seperti tidak bisa memformulasikan obat yang tepat untuk menanggulangi
segala jenis keburukan dalam Pendidikan Nasional kita tersebut. Pemerintah kita
malah meresmikan kurikulum 2013 yang mereka sebut sebagai “obat” untuk
menyelesaikan permasalahan pendidikan yang terjadi. Namun seperti yang kita
ketahui kesalahan dalam pemilihan obat, malah bisa mengakibatkan kehancuran
bagi bangsa Indonesia.
Kurikulum 2013 seperti yang kita lihat tidak
pernah dapat mengklasifikasikan siapa itu guru, siapa itu murid dan hal yang
lainnya. Dalam faktor mata pelajaran, ilmu pengetahuan yang disebut berkembang
pesat, secara materi dianggap materi pelajaranlah yang penting
padahal bukan hanya belajar materi yang penting
namun belajar hal lain seperti pembentukan karakter juga penting untuk menjaga
kualitas anak didik kita. Namun sebagaimana yang kita lihat, pemerintah hanya
memaksa anak didik kita untuk belajar dengan buku dan materi tanpa melihat hal
lain seperti pembentukan karakter tersebut. Parahnya mata pelajaran di seluruh
Indonesia disamaratakan, anak didik di Jakarta mendapatkan pelajaran yang sama
dengan di Papua. Padahal kita tahu bahwa, sarana dan prasarana tiap-tiap daerah
berbeda serta konsep pendidikan tiap daerah berbeda, sehingga pemaksaan
tersebut merupakan kesalahan yang sekali lagi dilakukan oleh pemerintah kita
tanpa perhitungan.
Lebih
jauh, Kurikulum 2013 sangat kacau dalam implementasinya. Sudah hampir setahun
dari dilaksanakannya kurikulum ini namun distribusi buku pelajarannya masih
belum terkirim dengan merata. Ditambah banyaknya pelajaran yang harus diambil
oleh siswa tentu sangat membebani siswa, bukannya membebaskan mereka.
Selain
masalah-masalah tersebut, masalah lain yang tidak kalah pentingnya yaitu
permasalahan Ujian Nasional (UN). Ujian Nasional yang dijadikan tolak ukur
penentu kelulusan malah mengakibatkan runtuhnya moral para siswa karena
kecurangan UN semakin lama semakin sistemik dan massif, UN jugalah hanya
menjadi ajang penghamburan uang negara karena hasilnya tak mengukur apapun dari
kualitas pendidikan Indonesia, karena kecurangan yang terjadi tentu saja
mengakibatkan lebih dari 90 % siswa pasti lulus, tapi sekali lagi hal tersebut
membuktikan bahwa UN sama sekali tidak dapat mengukur apapun.
Pemerintah
kita selalu melihat tolak ukur pendidikan dari hasil, bukan dari proses.
Kemenangan di lomba-lomba (olimpiade, dll) dianggap menjadi tolak ukur
pendidikan. Sehingga kita dapat melihat bahwa menang pendidikan kita semakin
dijauhkan dari tujuannya, sejatinya pendidikan mempertajam pikiran dan
menghaluskan perasaan, bukan membebani siswa dan menjadi momok bersama.
Perlu
ditekankan juga bahwa LBH Jakarta bersama jaringan advokasi yang melakukan
penolakan terhadap UN (TEKUN) telah melakukan Gugatan Warga Negara (Citizen
Law Suit) untuk menghapuskan UN dan dikabulkan hingga Mahkamah Agung. Namun
pemerintah masih membangkang dan tetap mengadakan UN.
3.
Pendidikan Tinggi
tersebut, hal tersebut termaktub dalam Kovenan
Ekonomi Sosial dan Budaya (Ekosob) yang diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor
11 tahun 2005 Pasal 13 ayat 2C yang menyatakan bahwa “Pendidikan tinggi juga
harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan
segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara
bertahap”. Sehingga cukup jelas bahwa Negara dalam hal ini diwakilkan oleh
Pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi tersebut.
Namun
sepertinya cita-cita itu masih sangat jauh dari harapan. Perguruan Tinggi saat
ini tak ubahnya seperti perusahaan karena dikelola secara privat, baik
perguruan tinggi negeri maupun swasta. Seperti yang ada pada beberapa Peraturan
Pemerintah yang muncul di tahun tahun 2000 yang mengesahkan Penerapan Skema
Badan Hukum di Pendidikan Tinggi Indonesia (poin konsideran KUHPer), hal ini
menjadi awal privatisasi kampus, baik di Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta.
Sehingga menyebabkan biaya pendidikan di perguruan tinggi menjadi sangat besar.
Upaya-upaya
yang dilakukan oleh aktivis dan para pemerhati pendidikan sebenarnya membuahkan
hasil. Undang - Undang Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan sudah
dinyatakan batal oleh Mahkamah Konstitusi. Kutipan Putusan Pembatalan UU BHP
oleh MK tahun 2010:
“ …
dalam keadaan tidak adanya kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah
BHP maka sasaran yang paling rentan adalah peserta didik yaitu dengan cara
menciptakan pungutan dengan nama lain di luar biaya sekolah atau kuliah yang
akhirnya secara langsung atau tidak langsung membebani peserta didik.”
“Kewenangan
institusi pendidikan untuk mencari dana secara otonom berpotensi melanggar hak
atas pendidikan bagi peserta didik.”
“Otonomi
pengelolaan pendidikan tinggi bukan merupakan sebuah keharusan dalam mencapai
tujuan Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bahkan dapat
mengagalkannya.”
Sehingga sebenarnya, Mahkamah Konstitusi sudah
secara jelas menyebutkan bahwa UU BHP itu sendiri telah melanggar hak atas
pendidikan bagi para peserta didik yaitu mahasiswa. Namun, upaya tersebut mengalami
ganjalan karena pemerintah memang tidak berniat untuk menghapuskan privatisasi
pada kampus perguruan tinggi. IMHERE dari Bank Dunia di tahun 2010 bahkan
menyebutkan perlu ada landasan hukum baru untuk praktik Badan Hukum, khususnya
badan hukum pendidikan. Sehingga pemerintah kita yang latah malah mengesahkan
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang masih berlaku
sampai sekarang yang menjadi penguatan legitimasi hukum atas praktik
privatisasi
kampus ala Badan Hukum seperti pada UU BHP. Sehingga
berlakunya UU Dikti sebenarnya tidak membawa perubahan yang signifikan bahkan
UU Dikti memberikan legitimasi yang lebih kuat untuk praktik dan trend yang
sudah berjalan sejak tahun 2000.
Berkaca
dari hal yang disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa perjuangan mewujudkan
kuliah murah menerima pukulan; mundur ke belakang dan biaya kuliah semakin
mahal serta akses terhadap Pendidikan Tinggi menjadi semakin eksklusif. Banyak
universitas menganggap tantangan yang dihadapi adalah dari luar bukan dari
dalam. Perubahan itu memaksa universitas untuk mereposisi dirinya dari semula
sebagai knowledge creation menjadi knowledge production. Perguruan
tinggi tidak lagi mengikuti Tri Dharma Perguruan Tinggi dan makin terpisah dari
Negara. Universitas yang tadinya ada dalam level national state, yang
seharusnya mengabdi pada kepentingan nasional sekarang berubah menjadi mengabdi
pada kepentingan global juga.
Otonomi
pendidikan tinggi hari ini adalah otonomi kelembagaan yang hanya dipahami
secara instrumentasis dan teknis. Sehingga otonomi hanya dimaknai sebagai
teknik-teknik manajerial dan perspektif kewirausahaan menjadi lebih mengemuka.
Struktur pembentukan keputusanpun tidak lagi terdesentralisir melainkan hanya
berada di tangan pejabat professional (rektor). Elit yang berkuasa dapat
mengendalikan perguruan tinggi dengan sewenang-wenang dan melanggar kebebasan
akademis.
Permasalahan
di dunia Perguruan Tinggi tidak hanya berakhir pada masalah biaya pendidikan
yang semakin mahal dan privatisasi kampus namun juga dalam hal pembatasan
demokratisasi mahasiswa di dalamnya. Seperti yang dapat kita lihat sekarang
Pemerintah dan perguruan tinggi, terus berusaha memberangus nilai-nilai
demokratisasi mahasiswa di kampus. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa NKRI
berdiri adalah hasil perjuangan yang terpimpin dalam sebuah organisasi rakyat
melawan kolonial asing. Demikian pula dalam sejarah panjang perjuangan saat
ini, organisasi menjadi sebuah keharusan yang wajib hukumnya diberi kebebasan
untuk berekspresi, berpendapat dan berserikat. Namun, saat ini kebebasan
berorganisasi di kampus menjadi sebuah formalitas semata saja di Republik ini.
Sebagai contoh berikut beberapa kasus pembatasan demokratisasi di kampus:
1. Drop
out (DO) yang dialami oleh 6 mahasiswa Universitas Tujuh Belas Agustus
(Untag) karena berdemonstrasi dan mengkritisi kebijakan kampus. Saat ini kasus
mahasiswa Untag tersebut masih dalam proses gugatan di Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN).
2.
Drop out (DO) mahasiswa Universitas Pancasila (UP) pada tahun 2013
setelah menjalankan kegiatan latihan kepemimpinan bersama organisasinya di
dalam kampus.
3. Drop
out (DO) terhadap mahasiswa Universitas Nasional yang mengkritisi kebijakan
jam malam kampus. Pimpinan mahasiswa yang diberhentikan dikaitkan dengan
maraknya penggunaan narkoba di Universitas Nasional, padahal tidak bisa
dibuktikan bahwa mereka positif menggunakan narkoba.
Apabila
kita merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
di Pasal 77 yang mengatur tentang Organisasi Mahasiswa berbunyi;
1.
Mahasiswa dapat membentuk organisasi kemahasiswaan
2.
Organisasi mahasiswa paling tidak memiliki fungsi untuk mewadahi,
mengembangkan, memenuhi, dan mengembangkan tanggung jawab sosial.
3.
Organisasi mahasiswa sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 merupakan
organisasi intra kampus
4.
Anggaran Pendidikan
Dapat kita
lihat bersama bahwa anggaran pendidikan merupakan salah satu permasalahan
krusial dalam penyelenggaraan pendidikan kita. Memang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) kita mengalokasikan 20 % anggarannya untuk digunakan di
sektor pendidikan namun ternyata penggunaan anggaran tersebut tidak murni hanya
digunakan untuk operasional dana pendidikan.
Di dalam
20 % anggaran pendidikan tersebut juga sudah masuk anggaran belanja guru dan
tenaga kependidikan untuk seluruh wilayah Indonesia juga anggaran pendidikan
untuk sekolah kedinasan seperti Akademi Militer, Institut Pemerintahan Dalam
Negeri (IPDN) juga ditanggung oleh anggaran 20 % APBN tersebut, bukannya
ditanggung oleh institusi penyelenggara pendidikan kedinasan tersebut. Sehingga
dana pendidikan untuk operasional institusi pendidikan umum menjadi semakin
sedikit dan tidak bisa terserap dengan maksimal.
Belum lagi
sudah menjadi rahasia umum bahwa anggaran pendidikan banyak dikorup terutama di
tingkat pemerintah daerah, sehingga anggaran pendidikan yang benar-benar dapat
dinikmati siswa menjadi sangat sedikit. Sehingga tidak heran, kualitas pendidikan
kita begini-begini saja. Dengan sarana prasarana yang terbatas karena tidak
pernah diperbaharui (akibat dikorup dan tidak maksimalnya dana pendidikan
dikucurkan). Apabila permasalahan ini dibiarkan berlarut-larut. Dapat
dipastikan kualitas pendidikan kita tidak akan bertambah baik ke depannya.
5.
Tenaga Kependidikan
Guru seharusnya merupakan profesi yang diisi oleh
orang-orang yang paling unggul dan pandai di bidangnya. Bukan oleh orang-orang
sisa yang tidak mendapatkan tempat di bidang lain. Pola rekrutmen dan
pendidikan bagi calon guru haruslah diperhatikan.
Di pendidikan
dasar dan menengah masih banyak guru yang dipekerjakan dan dibutuhkan
keahliannya namun masih berstatus honorer. Di perguruan tinggipun terdapat
kecenderungan semakin meningkat jumlah tenaga kerja honorer dibanding yang
tetap. Bagaimana mungkin menjadikan institusi pendidikan menjadi lebih baik
lagi apabila kualitas diri serta kesejahteraan diri tenaga kependidikan tidak
pernah diperhatikan. Pemerintah baru ke depannya harus dapat memformulasikan
kebijakan yang tepat untuk menanggulangi permasalahan ini. Kondisi di perguruan
tinggi diperburuk dengan banyak akademisi menjadi politikus karena perebutan
jabatan-jabatan strategis di kampus.
C.
Rekomendasi
Berkaca
dari hal-hal yang sudah banyak disebutkan tersebut tentu saja kita dapat
menarik kesimpulan dan rekomendasi kepada Pemerintahan Baru. Adapun rekomendasi
yang dapat kita sampaikan yaitu:
1.
Dalam Hal Pendidikan Dasar dan Menengah:
a.
Hapus Ujian Nasional. Gunakan Ujian Nasional hanya digunakan untuk memetakan
kualitas pendidikan di tiap daerah sebagai alat bantu pengembangan dan
intervensi pendidikan berupa affirmative action bagi sekolah yang belum
memenuhi standar nasional. Pemetaan pendidikan tidak harus dilakukan setahun
sekali, dan tidak harus dilakukan di akhir tahun kelas. Kembalikan Kebijakan
kelulusan pada sekolah dan guru sebagai pendidik sesuai dengan amanat UU
Sisdiknas bukannya diserahkan kepada mekanisme Ujian Nasional yang sebagaimana
kita ketahui sangatlah penuh kecurangan dan tidak sehat.
b. Ujian
Akhir bersifat high-stakes untuk menilai kualitas pendidikan nasional
dilakukan pada akhir jenjang sebelum siswa masuk ke Perguruan Tinggi. Ujian
akhir ini hanya menguji hal-hal fundamental yang penting dikuasai setiap
lulusan SMA sebagai modal pembangunan bangsa (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
Matematika, dan Sains). Ujian Akhir ini dilaksanakan oleh sebuah lembaga
independen yang tidak berada di bawah kewenangan Kemendikbud secara otentik.
Karena memang orang yang paling
mengetahui
kemampuan para siswa tentu saja guru-gurunya yang bersama mereka selama
sekolah.
c. Hapus
Kurikulum 2013. Pemerintah harus menerapkan kurikulum yang beragam sesuai
dengan kebutuhan dan potensi setiap daerah. Pemerintah juga harus memperhatikan
pengembangan kapasitas guru dan infrastruktur dalam penerapan kurikulum
nasional. Guru harus menjadi perhatian yang utama dalam pembuatan kurikulum.
2.
Dalam Hal Pendidikan Tinggi:
a.
Pemerintah seharusnya melakukan penyegaran birokrasi di lingkungan Kemendikbud
khususnya Dirjen Dikti. Birokrat-birokrat Dikti yang pro privatisasi kampus
haruslah diganti supaya tujuan pendidikan tinggi tidak melenceng sebagaimana
mestinya.
b.
Lebih jauh Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi haruslah
ditinjau ulang dan dicabut, serta skema badan hukum di bidang pendidikan
haruslah dihapuskan dengan demikian Pendidikan Tinggi yang Ilmiah dan
Demokratis dapat terwujud.
c.
Untuk menjaga kualitas kampus serta melindungi hak-hak warga Negara agar bisa
mengenyam kuliah, Perguruan Tinggi seharusnya mewujudkan sistem penerimaan
tunggal nasional serta sistem pembiayaan tunggal kampus.
d.
Kebebasan akademik, kebebasan mimbar kebebasan berpendapat, berorganisasi di
dalam kampus serta kebebasan akademik dan otonomi keilmuan mahasiswa haruslah
dijaga dan difasilitasi oleh kampus. Diskriminasi dalam kehidupan berorganisasi
di kampus harus dihapuskan, sebab mendirikan organisasi adalah hak mahasiswa
yang harus dihargai dan dijamin.
e. Adanya
kesinambungan antara pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Permasalahan
Pendidikan Tinggi kita karena kita hanya mendapatkan residua atau ampas dari
pendidikan dasar dan menengah. Energi mahasiswa sudah dihabisi di tingkat
sekolah. Sekolah menguras energy dan menjadikan mahasiswa menjadi acuh terhadap
pengembangan dirinya.
3.
Dalam Hal Anggaran Pendidikan
a.
Politik Anggaran 20% APBN untuk Pendidikan haruslah dijalankan dengan ketat dan
Realokasi anggaran belanja pegawai dikeluarkan dari kuota 20%.
b.
Pemerintah harus memaksimalkan penerimaan pajak untuk alokasi pendidikan.
c.
Menyediakan anggaran setidaknya 80 Triliun rupiah untuk pendidikan tinggi dalam
menjalankan mandate Pasal 13 UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan
Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya untuk mewujudkan pendidikan
tinggi yang mengarah ke cuma-cuma.
4.
Dalam Hal Tenaga Kependidikan
a.
Pemerintah bertanggungjawab mengembangkan profesionalisme guru melalui
pelatihan dan pengembangan subjek ajar dan keterampilan pengajaran untuk
meningkatkan kualitas pendidikan.
b.
Mengangkat guru dan tenaga kependidikan yang berstatus honorer untuk menjamin
kualitas kerja dan kesejahteraan.
c.
Menghapus sistem ketenagakerjaan layaknya swasta ataupun perusahaan, seperti
sistem kontrak, outsourcing, dan sebagainya.
5.
Dalam Hal Sistem Pendidikan Nasional
Ubah
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003). Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional merupakan akar dari berbagai persoalan pendidikan di
Indonesia. UU tersebut cukup banyak diuji di Mahkamah Konstitusi dan banyak
pasal yang sudah dibatalkan. Menyelesaikan berbagai masalah pendidikan dapat
dimulai dari mengubah sistem pendidikan nasional. Pemerintah harus mampu
melakukan assessment yang partisipatif dan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan untuk mencari solusi bersama membangun system pendidikan nasional.
“Pendidikan
dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan
kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin serta
keselamatan hidup lahir.”
(Ki Hajar Dewantara)
sumber:
bantuanhukum.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar